Home » , » Makalah Pola Pewarisan Sifat Pada Manusia Hukum Mendel

Makalah Pola Pewarisan Sifat Pada Manusia Hukum Mendel

Pola Pewarisan Sifat - Selama ribuan tahun, manusia telah melakukan seleksi terhadap tumbuhan dan hewan. Seleksi tersebut dilakukan dengan mengawinkan tumbuhan atau hewan unggul untuk mendapatkan keturunan dengan sifat yang diinginkan manusia. Selama waktu tersebut, manusia memahami pewarisan sifat hanya sebatas percampuran sifat antara induk jantan dan induk betina yang diwariskan kepada keturunannya.


Pada beberapa kasus hal tersebut benar. Umumnya, penampakan diri Anda sedikit mirip dengan ayah dan ibu Anda sendiri. Namun, manusia akan bingung jika mengawinkan dua bunga ungu dan menghasilkan semua keturunan bunga warna putih. Dari manakah sifat warna putih didapatkan?

Pada 1857, Gregor ohann Mendel ( 1822–1884), seorang biarawan yang berasal dari Austria, mulai mengadakan penelitian tentang pola pewarisan sifat pada tanaman ercis (Pisum sativum). Pada 1866, Mendel menyampaikan hasil penelitiannya kepada kalangan ilmuwan. Ia menemukan bahwa semua ciri makhluk hidup diturunkan berpasangan (gen sealel). Ia juga menemukan bahwa biasanya hanya satu ciri dari pasangan tersebut yang menjadi sifat yang tampak (gen dominan). Saat itu, Mendel belum mengetahui DNA dan kromosom dalam sel serta menyebut gen-gen yang bertanggung jawab terhadap suatu ciri makhluk hidup sebagai unit hereditas. Dua hal yang dikemukakan Mendel merupakan dasar bagi genetika, ilmu tentang pewarisan sifat makhluk hidup. Akan tetapi, entah karena tidak dipahami atau tidak disetujui, saat itu penelitian Mendel terabaikan.

Kerja keras Mendel baru ditemukan kembali 35 tahun kemudian, ketika Hugo de ries dan Belanda dan Carl Correns dari Jerman menghasilkan kesimpulan yang sama dengan Mendel pada penelitian mereka. Mereka menemukan hasil penelitan Mendel pada tahun 1900 ketika mempersiapkan publikasi hasil penelitiannya. Oleh sebab itu, Mendel dinobatkan sebagai ''Bapak Genetika''.

1. Percobaan Mendel

Mendel melakukan penelitian tentang pewarisan sifat pada tanaman ercis. Penggunaan tanaman tersebut merupakan pilihan tepat. Oleh karena tanaman ercis memiliki kriteria yang menguntungkan, yaitu berumur pendek, dapat melakukan penyerbukan sendiri, dan memiliki banyak ciri yang dapat diamati. Gambar  berikut memperlihatkan beberapa ciri tanaman ercis yang diamati Mendel
Beberapa ciri yang diamati Mendel
Beberapa ciri yang diamati Mendel

Perlu diingat pada pembahasan genetika, istilah  character atau ciri khas digunakan untuk menjelaskan ciri yang dapat diturunkan. Contohnya, warna bunga, penampakan biji, dan panjang batang yang bervariasi antarindividu. Setiap sifat dari ciri khas tersebut, seperti bunga ungu atau bunga putih, disebut  trait atau sifat (Campbell, 1998: 239). Setiap sifat untuk ciri tersebut selalu berpasangan, seperti tinggi dan pendek, bulat dan kisut, atau besar dan kecil.

a. Hukum I Mendel
Pada satu percobaan, Mendel menyilangkan tanaman ercis dan biji kuning dengan tanaman dari biji hijau. Kedua biji tanaman tersebut merupakan galur murni, didapat dari individu dengan sifat asli dan murni. Galur murni didapat dengan mengawinkan individu dengan sifat sama yang dinginkan berkali-kali.

Tanaman galur murni tersebut disebut P1 atau  parental (induk) pertama. Keturunan hasil persilangan disebut F1  atau  filial (generasi) pertama. Semua F1 persilangan tersebut adalah biji kuning.

Untuk mengetahui generasi selanjutnya, Mendel menanam biji kuning dari F1 . Tanaman tumbuh dan dewasa, melakukan penyerbukan sendiri, dan menghasilkan keturunan F2 . Hasilnya biji dengan sifat warna hijau muncul kembali pada generasi F2 . Dari 8.023 biji F2  yang dihasilkan, Mendel menemukan bahwa 6.022 biji adalah kuning dan 2.001 biji lainnya adalah hijau. Hal tersebut menghasilkan perbandingan biji kuning dan hijau sebesar 3:1

Dari hasil percobaan tersebut, Mendel mencatat dua hal penting.

  1. Sifat warna biji hijau menghilang pada generasi F1, namun muncul kembali pada generasi F2.
  2. Ketika sifat warna biji hijau muncul kembali, sifatnya sama dengan biji P1.

(a) Langkah-langkah penyilangan yang dilakukan Mendel. (b) Kesimpulan yang didapat oleh Mendel
(a) Langkah-langkah penyilangan yang dilakukan Mendel. (b) Kesimpulan yang didapat oleh Mendel


Mendel kemudian berpendapat bahwa pada tanaman F1, informasi untuk pembentukan biji hijau masih ada, namun tidak terlihat. Mendel juga berpendapat bahwa setiap tumbuhan P1  memberikan informasi bagi pembentukan warna biji kuning dan hijau, meskipun akhirnya mereka hanya menghasilkan biji kuning.

Ketika terdapat dua alternatif sifat bagi suatu ciri, sifat yang terlihat adalah sifat  dominan, sedangkan sifat yang kalah dan tidak terlihat adalah resesif. Pada kasus ini, sifat biji kuning adalah dominan terhadap sifat biji hijau. Pada semua ciri tanaman ercis yang Mendel amati, ia menemukan bahwa selalu terdapat satu sifat dominan terhadap sifat lain. Selain itu, perbandingan keturunan pada generasi pada generasi F2  selalu 3 : 1 untuk sifat dominan terhadap resesif.

Mendel menarik kesimpulan bahwa perbandingan 3 : 1 untuk sifat dominan terhadap resesif pada F2 dapat terjadi jika setiap individu hanya memiliki dua unit hereditas untuk setiap ciri yang dipengaruhi. Setiap unit hereditas didapat dari setiap induk jantan dan betina.

Kini unit hereditas yang diungkapkan Mendel disebut gen, yakni faktor pewarisan sifat yang mengatur ciri khusus individu, seperti penampakan, perilaku, dan fisiologis. Pada penelitian Mendel, gen mengatur warna biji, hijau atau kuning. Setiap bentuk alternatif gen disebut alel. Misalnya, pada gen yang mengatur warna biji terdapat gen untuk warna biji hijau dengan alel gen untuk warna biji kuning sehingga gen selalu berpasangan.

Pada individu, alel didapat dari setiap induk dan bersifat dominan atau resesif. Gen dominan biasanya dilambangkan dengan huruf kapital (besar), sedangkan gen resesif dilambangkan dengan huruf kecil yang sama. Jika huruf Y dilambangkan untuk alel gen warna biji kuning maka huruf y dilambangkan untuk alel gen warna biji hijau.

Berdasarkan hal tersebut, tanaman galur murni dengan sifat biji hijau memiliki pasangan alel YY, untuk galur murni biji kuning adalah yy. Pasangan alel ini disebut homozigot, memiliki pasangan yang sama.

Pada F1, pasangan alel didapat dari kedua induk galur murni sehingga semua generasi F1  memiliki pasangan alel Yy. Pasangan ini disebut heterozigot, memiliki pasangan yang berbeda. Pasangan alel-alel tersebut merupakan genotipe, tipe gen pada sel atau individu. Genotipe tidak tampak pada individu, namun genotipe memengaruhi penampakan sel- sel atau individu. Penampakan genotipe ini disebut  fenotipe.

Pada generasi F1 memiliki genotipe Yy yang mengandung alel untuk sifat biji warna kuning dan hijau. Akan tetapi, fenotipe generasi tersebut adalah biji warna kuning. Hal tersebut merupakan ekspresi alel gen dominan.

Hasil percobaan Mendel terhadap sifat dominan dan resesif yang diwariskan, menghasilkan Hukum I Mendel atau  hukum segregasi. Berdasarkan hukum ini, setiap individu membawa dua unit hereditas(gen sealel) yang memengaruhi suatu ciri tertentu. Selama meiosis, dua alel tersebut bersegregasi (berpisah) satu sama lain. Setiap alel kemudian tergabung dalam gamet. Alel akan bergabung kembali dengan pasangan alel yang sama atau berbeda melalui fertilisasi. Individu diploid hasil fertilisasi memiliki dua alel untuk setiap ciri. Satu dari setiap induknya.

Pembentukan pasangan alel pada individu melalui fertilisasi terjadi secara acak. Terdapat suatu metode untuk mengetahui kemungkinan pasangan alel pada individu baru yang disebut diagram Punnett. Diagram ini memperlihatkan kemungkinan alel gamet dari pasangan homozigot dan atau heterozigot, serta kemungkinan pasangan alel pada individu baru.

Pada generasi F2  terdapat biji fenotipe kuning dengan genotipe homozigot maupun heterozigot. Bagaimana cara Mendel mengetahui genotipe yang berbeda pada semua biji warna kuning? Mendel melakukan test cross, mengawinkan tanaman dengan genotipe yang belum diketahui dengan tanaman yang memiliki genotipe homozigot resesif (biji hijau galur murni). Jika semua keturunan tetap kuning, berarti biji kuning F2  adalah homozigot. Akan tetapi, jika test cross mengandung biji kuning dan hijau, berarti biji kuning F2  adalah heterozigot. Perhatikan gambar berikut
Diagram Punnett dan test cross yang dilakukan Mendel. (a) Jika biji F2  homozigot dan (b) jika biji F2  heterozigot.

b. Hukum II Mendel
Makhluk hidup umumnya memiliki pasangan alel untuk ratusanhingga ribuan ciri khas di dalam selnya. Pada percoban sebelumnya,Mendel menyilangkan tanaman ercis dengan satu ciri. Bagaimana jikamenyilangkan individu dengan dua ciri?

Mendel melakukan sebuah percobaan untuk mempelajari bagaimanadua ciri, bentuk dan warna biji, dapat berinteraksi dalam pewarisan sifat.Setelah mengetahui pada bentuk biji, sifat biji bulat dominan terhadapbiji kisut, Mendel menyilangkan galur murni biji bulat kuning (RRYY)dengan galur murni biji kisut hijau (rryy).

Persilangan dengan dua ciri beda ini disebut persilangan  dihibrid.Sebelumnya Mendel melakukan persilangan tanaman ercis dengan satuciri yang sebut persilangan monohibrid. Persilangan dihibrid antara galursemua biji bulat kuning.

Pada persilangan antara F1 dan F1, dihasilkan generasi F2 yangbervariasi. Termasuk dua fenotipe baru yang belum terlihat pada keduainduk. Tampaknya, alel dari gen untuk warna dan bentuk biji memisah sehingga dihasilkanempat jenis polen dan sel telur dengan kombinasi gen yang berbeda. Setiapgamet dapat memiliki kombinasi gen RY, ry, rY, atau Ry. Rekombinasiatau penyusunan kembali gen-gen yang terjadi melalui fertilisasimenghasilkan 16 kombinasi alel.  Dari 16 kombinasi, dihasilkan 9 macamgenotipe dan 4 macam fenotipe dengan perbandingan 9:3:3:1.

Persilangan dihibrid dan kombinasi sifat yang didapatkan
Persilangan dihibrid dan kombinasi sifat yang didapatkan


Dari hasil tersebut, Mendel menyimpulkan hasilnya dan dikenal dengan Hukum II Mendel, hukum pengelompokan secara bebas (independent assortment). Hukum ini menyatakan bahwa alel dari gen yang berbeda dibagikan secara acak ke dalam gamet-gamet dan fertilisasi terjadi secara acak pula.

Persilangan monohibrid menghasilkan perbandingan fenotipe 3:1. Adapun persilangan dihibrid menghasilkan perbandingan fenotipe 9:3:3:1. Bagaimana perbandingan fenotipe dengan tiga ciri atau bahkan lebih? Hal tersebut dapat diketahui menggunakan  segitiga Pascal. Perhatikan Tabel berikut.


Segitiga Pascal untuk Mengetahui Perbandingan Fenotipe
Segitiga Pascal untuk Mengetahui Perbandingan Fenotipe


2. Kromosom, Meiosis, dan Pewarisan Sifat

Pada 1902, seorang sarjana Amerika,  alter Sutton dan seorang ahli biologi Jerman, Theodor Boveri secara terpisah menemukan hubungan antara pembelahan meiosis dan pola pewarisan sifat Mendel. Mereka mengamati bahwa kromosom pada pembelahan meiosis memiliki perilaku yang mirip dengan perilaku gen-gen yang dijelaskan Mendel.

Sutton meneliti sel testis belalang dan menemukan bahwa kromosom berpisah selama meiosis. Gen-gen tersusun kembali dan mengelompok secara acak. Melalui pengamatan yang hati-hati, Sutton dan Boveri mengajukan teori kromosom pewarisan sifat. Berdasarkan teori ini, kromosom membawa unit hereditas (gen) Mendel. Unit hereditas ini memisah dan tersusun kembali dalam meiosis dan fertilisasi. Perhatikan gambar berikut.

Segresi dan pengelompokan secara bebas yang terjadi pada kromosom saat meiosis pembentukan gamet.
Segresi dan pengelompokan secara bebas yang terjadi pada kromosom saat meiosis pembentukan gamet.


Gambar tersebut memperlihatkan pergerakan kromosom selama meiosis dan bagaimana gen dibagikan selama pembentukan gamet. Induk jantan dari generasi P1 memberikan alel Y dan R, sedangkan induk betina memberikan alel y dan r kepada sel tubuh F1. Individu F1 akan dewasa dan menghasilkan gamet

Saat pembentukan gamet, dua pasang kromosom homolog dapat tersusun dalam dua cara yang berbeda saat metafase . Cara pertama menghasilkan gamet dengan susunan kromosom mirip induk P1 . Menghasilkan gamet dengan kombinasi gen YR dan yr. Cara kedua menghasilkan gamet rekombinasi (kombinasi baru) dengan kombinsi gen yR dan Yr . Hasil kerja Sutton dan Boveri ini mem- perlihatkan hubungan antara gen, kromosom, meiosis, dan pewarisan sifat yang dikemukakan Mendel.


3. Penyimpangan Semu Hukum Mendel

Meskipun hukum Mendel merupakan dasar dari perwarisan sifat, penelitian lebih lanjut menemukan bahwa banyak gen yang tidak sesuai hukum Mendel. Jika perbandingan dengan fenotipe F2  hasil persilangan monohibrid dan dihibrid berdasarkan hukum Mendel adalah 3:1 dan 9:3:3:1, penelitian lain menghasilkan perbandingan F2  yang berbeda. Misalnya, 9:3:4, 12:3:1, dan 9:7.

Penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya interaksi antargen. Interaksi tersebut menghasilkan perbandingan fenotipe yang menyimpang dari hukum Mendel. Interaksi antargen yang menyebabkan penyimpangan semu hukum Mendel dapat berupa epistasis hipostasis, polimeri, kriptomeri, dan adanya  gen komplementer.

a. Epistasis dan Hipostasis
Fenomena ini diungkapkan kali pertama oleh  illiam Bateson dan  R.C Punnett. Mereka mengawinkan berbagai macam ayam dengan memerhatikan bentuk jengger. Persilangan antara ayam berjengger tipe  rose (mawar) dengan tipe pea (ercis) menghasilkan 100% ayam berjengger  alnut.

Semula, munculnya ayam berjengger  alnut diduga merupakan sifat intermedier (sifat antara) yang muncul jika gennya heterozigot. Akan tetapi, jika ayam F1  berjengger  alnut tersebut dikawinkan sesamanya, dihasilkan empat fenotipe dengan perbandingan 9:3:3:1. Selain fenotipe jengger ayam rose, pea, dan  alnut muncul satu sifat baru lain, yakni  single (tunggal).

Diagram Persilangan Ayam Berjengger Rose dan Ayam Berjenger Pea
Diagram Persilangan Ayam Berjengger Rose dan Ayam Berjenger Pea

Empat tipe jengger ayam


Jengger tipe  alnut dan single merupakan tipe jengger baru yang muncul dan tidak dijumpai pada kedua induk. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi antargen. Adanya empat sifat beda dengan perbandingan 9:3:3:1 memberikan petunjuk bahwa terdapat dua pasang alel yang berbeda ikut mempengaruhi bentuk jengger ayam.

Sepasang alel (RR) menentukan tipe jengger  rose dan sepasang alel (PP) menentukan tipe jengger pea. Interaksi antar gen  rose dan  pea menghasilkan fenotipe  alnut (R-P-) dan  single (rrpp).

Gen R dominan terhadap alel r dan gen P dominan terhadap p. Satu atau sepasang gen R dominan terhadap gen r, dalam hal ini menghasilkan fenotipe baru, yakni  alnut. Sepasang gen rrpp menghasilkan fenotipe baru, single. Meskipun terdapat dominansi antara gen P dan gen R, gen- gen tersebut bukanlah gen sealel (Suryo, 2001: 131).

Peristiwa sebuah atau sepasang gen yang menutupi atau mengalahkan ekspresi gen lain yang bukan sealel disebut  epistasis. Adapun gen yang kalah disebut hipostasis. Terkadang, peristiwa epistasis dan hipostasis menghasilkan fenotipe baru (Starr  Taggart, 1995:179)

Epistasis dapat dibedakan berdasarkan dominansi terhadap gen lain menjadi:

1) Epistasis dominan
Hal ini terjadi jika suatu gen bersifat epistasis terhadap gen lain jika bersifat dominan terhadap alelnya. Misalnya, terdapat gen A dan B yang mengatur suatu ciri, maka pada epistasis dominan berlaku sifat gen:



2) Epistasis resesif
Pada epistasis ini, gen akan bersifat epistasis jika dalam keadaan resesif terhadap alelnya. Contohnya:



3) Epistasis dominan dan resesif
Epistasis jenis ini terjadi jika pada suatu ciri yang dikendalikan oleh dua gen dan terdapat epistasis dominan dan resesif. Contohnya:



Contoh Soal
arna umbi lapis bawang (Allium sp.) dipengaruhi dua gen
M: gen untuk umbi merah
K : gen untuk umbi kuning

Gen M epistasis terhadap gen K. Adapun genotipe mmkk menghasilkan fenotipe baru, yakni umbi lapis putih. Tentukan perbandingan fenotipe generasi ke-2.




F2 : M-K- 9  Umbi lapis merah
M-kk 3  Umbi lapis merah
mmK- 3  Umbi lapis kuning
mmkk 1  Umbi lapis putih

Perkawinan antara bawang dengan umbi lapis warna merah homozigot dengan kuning homozigot menghasilkan generasi F1  100% berumbi lapis warna merah. Persilangan antar F1  menghasilkan generasi F2  dengan perbandingan umbi lapis merah, kuning dan putih sebesar 12 : 3 : 1.

Terlihat perbandingan fenotipe tersebut berbeda dari hukum Mendel, tetapi sebenarnya tidak demikian. Perbandingan fenotipe perkawinan dihibrid ini tetap 9 :3:3:1, hanya perbandingan fenotipe yang mengalami modifikasi menjadi (9+3): 3:1.


b. Polimeri
elson Ehle membuktikan polimeri ketika menyilangkan gandum kulit merah dengan kulit putih. Generasi F1  hasil perbandingan tersebut menghasilkan 100% gandum kulit merah. Persilangan F1 menghasilkan generasi F2  dengan perbandingan kulit merah dan putih sebesar 15:1. Dari perbandingan tersebut dapat diduga bahwa persilangan yang dilakukan merupakan persilangan dihibrid.

Perbandingan 15:1 merupakan modifikasi dari hukum Mendel mengenai persilangan dihibrid. Perbandingan 15:1 dihasilkan dari modifikasi perbandingan (9+3+3) : 1. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa gen pembawa sifat merah adalah dominan dan terdapat dua pasang alel yang menentukan sifat kulit merah. Perhatikan persilangan berikut

Diagram Persilangan Gandum arna Merah dan arna Putih
Diagram Persilangan Gandum arna Merah dan arna Putih


Berdasarkan hasil generasi F2 , diketahui bahwa terdapat 15 dari 16 kemungkinan perkawinan menghasilkan fenotipe merah, karena mengandung gen dominan M. Adapun satu kemungkinan menghasilkan fenotipe putih karena tidak memiliki gen dominan M. Hasil generasi F2 juga mengungkapkan bahwa semakin banyak gen dominan M, semakin tua warna kulit gandum tersebut. Jika terjadi sebaliknya, warna kulit gandum semakin putih.

Dari percobaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa polimeri merupakan peristiwa dipengaruhinya satu ciri oleh banyak gen yang berdiri sendiri dan terjadi secara akumulatif. Semakin banyak gen yang memengaruhi, semakin nyata perbedaannya. Contoh lain polimeri terjadi pada warna iris mata manusia dan warna kulit

c. Kriptomeri
Kriptomeri kali pertama diungkapkan oleh Corens pada saat menyilangkan bunga  inaria marrocana galur murni warna merah dan putih. Generasi F1  hasil persilangan didapatkan semua bunga berwarna ungu. Kemudian bunga tersebut disilangkan dengan sesamanya menghasilkan generasi F2 . Hasilnya, didapatkan fenotipe bunga ungu, merah, dan putih dengan perbandingan 9:3:4. Dari hasil tersebut diduga kuat bahwa persilangan tersebut merupakan persilangan dihibrida.

Berdasarkan penelitian Correns, gen pembentuk antosianin dominan terhadap gen tanpa antosianin. Pigmen antosianin berwarna merah jika berada dalam sitoplasma sel yang bersifat asam. Jika sitoplasma bersifat basa, pigmen berwarna ungu. Sifat asam basa sitoplasma ini dipengaruhi oleh gen lain. Gen penyebab sitoplasma basa ini bersifat dominan.

Berdasarkan dua ciri, pembentukan antosianin dan derajat keasaman sitoplasma menyebabkan fenotipe bunga warna ungu tersembunyi. arna ungu akan tampak jika kedua gen dominan muncul. Karena itulah peristiwa ini disebut kriptomeri (kriptos  tersembunyi). Perhatikan persilangan berikut.

Diagram Persilangan Bunga Linaria  a occana
Diagram Persilangan Bunga Linaria  a occana


Perbandingan fenotipe F2  9:3:4 terlihat tidak sesuai dengan perbandingan fenotipe dihibrid menurut Mendel. Sebenarnya perbandingan tersebut hanyalah modifikasi dari hukum Mendel, yaitu 9:3 : (3+1).

d. Komplementer
Fenomena gen komplementer kali pertama diamati oleh  . Bateson dan R.C. Punnet saat mengamati persilangan bunga  athyrus odoratus. Komplementer merupakan interaksi gen yang saling melengkapi. Jika salah satu gen tidak muncul, sifat yang dimaksud juga tidak muncul atau tidak sempurna.

Pada bunga  athyrus odoratus, terdapat dua gen yang saling berinteraksi dalam memunculkan pigmen pada bunga.
Gen C : membentuk pigmen warna
Gen c : tidak membentuk pigmen warna
Gen P : membentuk enzim pengaktif pigmen
Gen p : tidak membentuk enzim pengaktif pigmen

Berdasarkan gen-gen tersebut, warna pada bunga hanya akan timbul  jika kedua gen, penghasil pigmen (C) dan penghasil enzim pengaktif pigmen (P), muncul. Jika salah satu atau kedua gen tidak muncul, bunga tidak berwarna (putih). Perhatikan persilangan berikut.

Diagram persilangan Lat y u odo atu
Diagram persilangan Lat y u odo atu


Berdasarkan hasil persilangan, generasi F2 menghasilkan perbandingan fenotipe ungu dan putih sebesar 9:7. Sepintas, tampak hal tersebut tidak sesuai hukum Mendel. Akan tetapi, sebenarnya perbandingan 9:7 tersebut hanya modifikasi dari perbandingan 9 : (3+3+1).

4. Pautan dan Pindah Silang

Meskipun prinsip dasar Hukum II Mendel adalah adanya penge- lompokan secara bebas (independent assortment), para ahli genetika akhirnya mengetahui bahwa tidak semua gen mengelompok secara bebas. Beberapa diturunkan bersama-sama atau saling terkait. Fenomena ini menyebabkan perbedaan hasil persilangan yang tidak sesuai hukum Mendel yang disebut  pautan. Selain pautan, perbedaan hasil juga diperoleh jika terjadi pindah silang (crossing over) antarkromosom.

a. Pautan
Terjadinya pautan (gen linkage) antargen ini ternyata disebabkan oleh letak gen-gen tersebut masih berada dalam kromosom yang sama. Oleh sebab itu, ketika kromosom memisah sewaktu meiosis dan membentuk gamet, kedua gen tetap bersama

Salah satu contoh pautan terjadi pada penelitian oleh  illiam Bateson dan R.C. Punnet sekitar 1905. Mereka mengembangkan tanaman ercis galur murni yang mengandung gen P untuk warna bunga ungu yang dominan terhadap gen P untuk warna bunga merah. Tanaman tersebut juga mengandung gen L untuk polen lonjong yang dominan terhadap gen l untuk polen bulat.

Pertama, mereka menyilangkan tanaman dengan alel homozigot. Hasilnya, semua generasi F1  menghasilkan tanaman bunga ungu dengan polen lonjong (PpLl) seperti yang telah diduga sebelumnya. Ketika sesama F1  disilangkan, perbandingan fenotipe yang tidak biasa dihasilkan. Perhatikan diagram berikut.

Diagram perbandingan tanaman ercis yang memiliki pautan gen
Diagram perbandingan tanaman ercis yang memiliki pautan gen


Berdasarkan persilangan tersebut, terlihat bahwa terdapat pautan antara gen P dengan L dan p dengan l. Oleh karena itu, meskipun genotipe F1  adalah PpLl, gamet yang dihasilkan tetap bergenotipe PL dan pl. Hal ini menghasilkan generasi F2  dengan perbandingan 3:1 (bunga ungu, polen lonjong : bunga merah, polen bulat).

b. Pindah Silang
Sebenarnya, sebelum didapat kesimpulan bahwa peristiwa persilangan tanaman ercis oleh illiam Bateson dan R.C. Punnet adalah peristiwa pautan, mereka dikejutkan oleh hasil perbandingan dari data asli yang didapat. Dari data tersebut, terdapat sejumlah kecil hasil dengan fenotipe ungu bulat dan merah lonjong yang seharusnya tidak ada jika terjadi pautan saja pada gen-gennya.
 Perbandingan Hasil Persilangan Dihibrid Normal, Hasil Asli Persilangan, dan Hasil Pautan

Melalui pengamatan lebih lanjut, para ahli genetika mengetahui bahwa hasil tersebut dapat terjadi melalui mekanisme  pindah silang (crossing over) yang terjadi selama meiosis. Selama meiosis, kromosom homolog saling berpasangan membentuk tetrad. Pada keadaan ini, terjadi pertukaran materi genetik antara kromosom dan pasangan homolognya. Menyebabkan gen-gen dapat berpindah dari satu kromosom ke kromosom homolognya.

Perpindahan ini dapat terjadi sepanjang pasangan kromosom. Proses ini disebut juga pindah silang (crossing over). Pada proses meiosis, pindah silang terjadi pada kiasma. Oleh karena materi serta susunan gen berubah akibat pindah silang, proses ini disebut juga  rekombinasi gen
Peristiwa Pindah Silang
Peristiwa Pindah Silang


Jika dua gen berpautan, kedua gen ini akan bersama-sama diwariskan dalam satu gamet. Akan tetapi, jika terjadi pindah silang dalam proses meiosis, kedua gen tersebut dapat berpisah dan membentuk rekombinasi baru dalam gametnya. Hal inilah yang menyebabkan adanya hasil pada sifat bunga ungu-polen bulat dan bunga merah-polen lonjong, meskipun nilai tersebut kecil.

5. Determinasi dan Pautan Seks

Prinsip pewarisan sifat yang diajukan Mendel berlaku bagi banyak ciri dan sifat yang diturunkan. Akan tetapi, pola pewarisan sifat yang ada di alam lebih beraneka ragam. Di antaranya penentuan (determinasi) jenis kelamin dan gen pautan seks.

a. Determinasi Seks
Deteminasi seks, seperti halnya penentuan ciri khas lain dari makhluk hidup, diturunkan dari induk kepada turunannya. Mekanisme penentuan jenis kelamin ini melalui mekanisme yang sama dengan penentuan ciri lain.

Seperti yang telah Anda ketahui dari bab sebelumnya, penentuan jenis kelamin satu individu bergantung pada kromosom seks. Penentuan ini dilakukan semenjak pembentukan gamet dan proses fertilisasi. Berdasarkan tipe kromosom dan makhluk hidup yang memilikinya, determinasi seks dapat dibedakan atas tipe XY, Z , XO, dan ZO.

1) Tipe
Determinasi seks berdasarkan kromosom tipe XY ini berlaku pada manusia, sebagian hewan, dan tumbuhan. Pada betina, memiliki jenis kromosom seks XX, sedangkan jantan memiliki jenis kromosom seks XY. Bagaimanakah kromosom ini diwariskan?

Jika diperhatikan, kromosom dalam sel tubuh, misalnya pada lalat Drosophila, berada dalam keadaan berpasangan dengan kromosom homolognya. Pada lalat Drosophila  betina, Anda dapat dengan mudah mengelompokkan 8 buah kromosom dalam empat pasangan. Akan tetapi, pada lalat jantan, hal tersebut berbeda. Anda dapat mengelompokkan enam buah kromosom dalam tiga pasang  kromosom sama, tetapi masih terdapat dua kromosom yang tidak mirip. Kedua kromosom ini, yaitu kromosom X dan Y

Sel jantan dan betina pada lalat buah
Sel jantan dan betina pada lalat buah


Kromosom X dan Y diberikan dari satu sel ke sel keturunannya seperti kromosom lain, kecuali saat proses meiosis. Sel tubuh betina memiliki sepasang kromosom X sehingga saat meiosis dan pembentukan gamet, semua sel gamet betina memiliki kromosom X. Adapun sel tubuh jantan memiliki kromosom X dan Y sehingga saat meiosis dan pembentukan gamet, terdapat gamet dengan kromosom X dan gamet dengan kromosom Y.

Melalui fertilisasi, gamet jantan melebur dengan gamet betina menghasilkan individu XX (betina) dan XY (jantan) dengan perbandingan fenotipe 1:1. Oleh karena itu, kemungkinan didapat individu jantan adalah 50% dan betina 50%
Diagram Punnet yang memperlihatkan penentuan jenis kelamin berdasarkan kromosom X dan Y
Diagram Punnet yang memperlihatkan penentuan jenis kelamin berdasarkan kromosom X dan Y

Mekanisme kromosom X dan Y juga terjadi pada manusia dan menghasilkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan kemungkinan yang sama. Apa yang terjadi pada gen-gen yang terdapat di kromosom X atau Y? Jawaban ini kali pertama ditemukan oleh Thomas Hunt Morgan, bahwa pewarisan sifat dapat berpautan dengan jenis kelamin. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda temukan pada bahasan pautan seks.

2) Tipe Z
Penentuan jenis kelamin berdasarkan tipe ini berlaku pada beberapa unggas, kupu-kupu, reptil, dan beberapa jenis ikan. Penentuan jenis kelamin tipe ini kebalikan dengan tipe XY. Jika manusia laki-laki XY dan perempuan  XX, pada tipe ini terjadi kebalikannya. Untuk menghindari kekeliruan, maka dipakai lambang ZZ untuk jantan dan Z untuk betina.

3) Tipe
Pada tipe ini, kromosom seks atau gonosom yang dimiliki jantan hanya X saja (XO), sedangkan betina XX. Penentuan jenis kelamin tipe ini berlaku pada beberapa jenis serangga, seperti kutu, belalang, serta anggota Orthoptera dan Heteroptera lain

Beberapa tipe penentuan jenis kelamin pada (a) manusia, (b) ayam, dan (c) belalang
Beberapa tipe penentuan jenis kelamin pada (a) manusia, (b) ayam, dan (c) belalang


4) Tipe Ploidi
Penentuan jenis kelamin tipe ini tidak ditentukan oleh kromosom kelamin, tetapi ditentukan oleh jumlah set kromosom yang dimiliki. Pada lebah, betina memiliki jumlah kromosom diploid (2n) hasil fertilisasi. Adapun lebah jantan merupakan individu haploid (n) yang dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu utuh meskipun tidak dibuahi. Proses ini disebut juga partenogenesis.

b. Pautan  Seks
Thomas Hunt Morgan merupakan orang pertama yang membuktikan adanya gen pautan seks. Fenomena ini dapat diamati pada persilangan lalat buah (Drosophila) jantan mata putih dengan betina mata normal atau merah.

Dari hasil persilangan didapatkan semua lalat generasi F1  baik jantan maupun betina, 100% bermata merah. Persilangan antara sesama F1 menghasilkan generasi F2  sebagai berikut.



Pada generasi F2 , diketahui bahwa tidak ada satupun lalat betina dengan mata putih. Sifat mata putih hanya ditemukan pada lalat jantan. Dari hasil tersebut, Morgan menduga bahwa gen untuk mata putih terletak pada kromosom X. Jika digunakan simbol  untuk alel mata merah dan w untuk mata putih, jantan mata putih pada P memiliki kromosom XwY. Adapun betina mata merah adalah XwXw.

Persilangan antara jantan mata putih dan betina mata merah dengan gen yang terpaut seks
Persilangan antara jantan mata putih dan betina mata merah dengan gen yang terpaut seks


Percobaan Morgan menjelaskan bahwa terdapat sifat yang diturunkan dan terpaut jenis kelamin. Pola ini berlaku juga pada gen-gen yang terletak pada kromosom X. Ketika gen resesif terdapat pada salah satu kromosom X di individu betina, sifat tersebut dapat terekspresikan atau tidak. Hal ini bergantung ada atau tidaknya gen dominan pada kromosom lain. Akan tetapi, pada individu jantan, semua gen pada kromosom X akan terekspresikan. Hal ini disebabkan tidak terdapat kromosom X lain  sebagai alel gen tersebut.
Kemungkinan letak gen W dan w pada kromosom seks lalat buah betina dan jantan
Kemungkinan letak gen W dan w pada kromosom seks lalat buah betina dan jantan


6. Gen Letal

Gen letal adalah gen yang dalam keadaan homozigot, menyebabkan kematian pada individu tersebut. Gen letal dapat menyebabkan kematian pada saat individu masih embrio atau setelah lahir. Ada pula gen yang menyebabkan kematian saat individu menjelang dewasa. Gen ini disebut juga gen subletal. Berdasarkan sifat dan pengaruhnya, gen letal dapat dibedakan atas  gen letal dominan dan gen letal resesif.

a. Gen Letal Dominan
Gen letal dominan menyebabkan kematian pada keadaan homozigot dominan. Pada keadaan heterozigot, umumnya penderita hanya mengalami kelainan.

Contoh kelainan ini terdapat pada ayam redep. Ayam redep memiliki kaki dan sayap pendek. Dalam keadaan gen homozigot dominan, ayam mati. Jika heterozigot, ayam hidup, tetapi memiliki kelainan kaki dan sayap pendek. Perhatikan persilangan berikut.

Diagram persilangan pada ayam redep
Diagram persilangan pada ayam redep


Dari persilangan tersebut hanya dihasilkan ayam redep dan normal dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini karena individu dengan genotipe homozigot (RR) selalu mati. Perbandingan ini berbeda dengan perbandingan fenotipe berdasarkan Hukum I  Mendel yang menghasilkan perbandingan 3 : 1.

b. Gen Letal Resesif
Pada gen letal resesif, individu akan mati jika memiliki gen letal homozigot resesif. Pada keadaan heterozigot, individu normal, tetapi membawa gen letal.

Contoh gen ini terdapat pada tanaman jagung. Gen ini memengaruhi pembentukan klorofil. Oleh karena itu, jika individu memiliki gen homozigot resesif, tanaman menjadi albino dan mati. Perhatikan diagram berikut.

Diagram  persilangan pada jagung dengan gen letal resesif
Diagram  persilangan pada jagung dengan gen letal resesif

0 komentar:

Posting Komentar