Latar Belakang Lahirnya Amandemen
Berhentinya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 menjadi awal dimulainya era reformasi di Indonesia. Era reformasi memberikan harapan besar terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis. Selain itu, reformasi juga diharapkan menjadi titik tolak perubahan mental bangsa Indonesia sehingga menjadi bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan dan persaudaraan.
Salah satu tuntutan yang berkembang di masyarakat adalah dilakukannya Amandemen (Perubahan) UUD 1945. Tuntutan itu didasarkan pada pandangan bahwa UUD 1945 belum cukup memuat landasan kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat dan penghormatan pada hak asasi manusia, pasal-pasalnya bersifat multi tafsir dan membuka peluang terjadinya penyelenggaraan negara yang sentralistik, otoriter, tertutup dan sarat perilaku KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Tuntutuan itu dalam perkembangannya menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia. Kemudian, tuntutuan itu diwujudkan secara menyeluruh, bertahap dan sistematis dalam empat kali perubahan UUD 1945, yaitu perubahan pertama, perubahan kedua, perubahan ketiga, dan perubahan keempat. Perubahan perubahan itu tetap merupakan satu rangkaian dan satu sistem kesatuan. Amandemen merupakan salah satu upaya inovasi dan kreativitas bangsa Indonesia dalam bernegara.
Perubahan UUD 1945 dilakukan oleh MPR sebagaimana diatur dalam wewenang MPR pasal 3 dan 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR harus hadir. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dan jumlah anggota yang hadir.
Dasar Pemikiran Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945 merupakan upaya penyempurnaan aturan dasar guna lebih memantapkan usaha pencapaian cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Adapun dasar pemikiran dilakukan-nya Perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
- UUD 1945 membentuk struktur kekuasaan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR sehingga tidak terjadi proses saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) pada institusi-institusi kenegaraan.
- UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar kepada eksekutif (Presiden) untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif ) sehingga menyebabkan tidak berjalannya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi.
- UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang “luwes” sehingga multitafsir (lebih dari satu tafsiran, beragam tafsiran). Kecenderung an pasal-pasal ditafsirkan berdasarkan keinginan pemegang kekuasaan pemerintahan.
- UUD 1945 terlalu banyak memberikan kekuasaan kepada presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang sehingga pengaturan lembaga-lembaga negara lainnya sepenuhnya disusun oleh kekuasaan presiden.
Tujuan Perubahan UUD 1945
Adapun tujuan dilakukannya perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
- Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan per-lindungan hak asasi manusia
- Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasaan yang Iebih tegas, saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman.
- Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara terhadap warga negara
- Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara yang demokratis.
- Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan bangsa dan negara.
Hasil Perubahan UUD 1945
Setelah melalui tingkat-tingkat pembicaraan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib MPR dalam beberapa kali sidang MPR telah mengambil putusan empat kali perubahan UUD 1945 dengan perincian sebagai berikut.
- Perubahan pertama UUD 1945 hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999 (tanggal 14–21 Oktober 1999).
- Perubahan kedua UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2000 (tanggal 7–14 Agustus 2000)
- Perubahan ketiga UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2001 (tanggal 1–9 Nopember 2001).
- Perubahan keempat UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2002 (tanggal 1–11 Agustus 2002).
Apabila ditinjau dari aspek sistematika, UUD 1945 sebelum diubah terdiri atas:
- Pembukaan
- Batang Tubuh
- Penjelasan
Setelah mengalami proses perubahan, maka sistematika menjadi dua bagian yaitu:
- Pembukaan
- Pasal-Pasal (sebagai pengganti istilah Batang Tubuh)
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan mencakup 21 Bab, 73 pasal, 170 Ayat, 3 pasal aturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan. Selengkapnya terlihat dalam tabel berikut.
a. Tidak Ada Mekanisme Check and Balances
Dalam Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman yang dalam pen-jelasannya menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Tafsir atas kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini bisa berbeda satu sama lain. Pemerintah menyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah kemerdekaan fungsi, bukan kemerdekaan tatanan kelembagaan. Ada pun berbagai kajian ilmiah dan pandangan para praktisi menyebut kan bahwa kemerdekaan itu harus struktural (sesuai tingkatan). Dalam arti, pemerintah sama sekali tidak ikut campur dalam urusan peradilan sekalipun hanya dalam soal keuangan dan administrasi bagi para hakim. Dalam kenyataannya, para hakim karena kedudukannya sebagai pegawai negeri sering menjadi sulit untuk berlaku adil, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan pemerintah atau keluarga pejabat.
b. Terlalu Percaya pada Semangat Orang (Penyelenggara)
Kelemahan lain didasarkan pada terlalu percayanya UUD 1945 terhadap semangat atau itikad baik orang yang menjadi penyelenggara negara. Ini dapat dilihat dari bunyi Penjelasan UUD 1945 yang secara “terlalu polos” menyatakan bahwa “yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara …” Kepercayaan yang seperti ini tentu tidak salah, tetapi menjadi tidak wajar jika semangat orang itu tidak dikendalikan dengan sistem yang juga ketat.
Dengan berdasar pada kalimat inilah, ada yang mengatakan bahwa otoriterisme dan korupsi politik yang terjadi selama ini disebabkan oleh orangnya, bukan oleh UUD-nya. Namun sebenarnya, yang penting adalah sistemnya sebab orang baik dan semangat demokratis sekalipun jika telah berkuasa tetap akan diintai oleh penyakit korup. Jika secara pribadi penguasa itu mempunyai semangat yang demokratis, jujur, dan adil, tidak ada jaminan bahwa pemerintahannya juga akan demokratis, jujur, dan adil. Oleh karena itu, selain semangat orang harus baik, sistemnya juga harus ketat membawa semangat ke sana.
Bahkan, jika memungkinkan sistem itulah yang dapat menyaring orang-orang atau penyelengggara negara yang semangatnya bagus. Konstitusi atau hukum harus mencurigai bahwa orang yang berkuasa akan korup sehingga harus dikawal oleh hukum dengan segala kemungkinannya. Kenyataannya hukum itu lahir karena rakyat harus curiga pada orang lain (terutama yang akan berkuasa).
Kelemahan-Kelemahan UUD 1945
Dari berbagai studi tentang UUD 1945, tercatat kelemahan-kelemahan muatan yang menyebabkan tidak mampu menjamin lahirnya pemerintahan yang demokratis-konstitusional, yaitu sebagai berikut.a. Tidak Ada Mekanisme Check and Balances
Dalam Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman yang dalam pen-jelasannya menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Tafsir atas kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini bisa berbeda satu sama lain. Pemerintah menyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah kemerdekaan fungsi, bukan kemerdekaan tatanan kelembagaan. Ada pun berbagai kajian ilmiah dan pandangan para praktisi menyebut kan bahwa kemerdekaan itu harus struktural (sesuai tingkatan). Dalam arti, pemerintah sama sekali tidak ikut campur dalam urusan peradilan sekalipun hanya dalam soal keuangan dan administrasi bagi para hakim. Dalam kenyataannya, para hakim karena kedudukannya sebagai pegawai negeri sering menjadi sulit untuk berlaku adil, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan pemerintah atau keluarga pejabat.
Perjuangan untuk mewujudkan reformasi di segala bidang membutuhkan perjuangan, baik harta maupun nyawa. |
b. Terlalu Percaya pada Semangat Orang (Penyelenggara)
Kelemahan lain didasarkan pada terlalu percayanya UUD 1945 terhadap semangat atau itikad baik orang yang menjadi penyelenggara negara. Ini dapat dilihat dari bunyi Penjelasan UUD 1945 yang secara “terlalu polos” menyatakan bahwa “yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara …” Kepercayaan yang seperti ini tentu tidak salah, tetapi menjadi tidak wajar jika semangat orang itu tidak dikendalikan dengan sistem yang juga ketat.
Dengan berdasar pada kalimat inilah, ada yang mengatakan bahwa otoriterisme dan korupsi politik yang terjadi selama ini disebabkan oleh orangnya, bukan oleh UUD-nya. Namun sebenarnya, yang penting adalah sistemnya sebab orang baik dan semangat demokratis sekalipun jika telah berkuasa tetap akan diintai oleh penyakit korup. Jika secara pribadi penguasa itu mempunyai semangat yang demokratis, jujur, dan adil, tidak ada jaminan bahwa pemerintahannya juga akan demokratis, jujur, dan adil. Oleh karena itu, selain semangat orang harus baik, sistemnya juga harus ketat membawa semangat ke sana.
Bahkan, jika memungkinkan sistem itulah yang dapat menyaring orang-orang atau penyelengggara negara yang semangatnya bagus. Konstitusi atau hukum harus mencurigai bahwa orang yang berkuasa akan korup sehingga harus dikawal oleh hukum dengan segala kemungkinannya. Kenyataannya hukum itu lahir karena rakyat harus curiga pada orang lain (terutama yang akan berkuasa).
0 komentar:
Posting Komentar