Pengertian Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi menjadi sumber hukum tertinggi dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Konstitusi terdiri atas konstitusi tertulis (UUD) dan tidak tertulis (Konvensi). Setiap negara memiliki konstitusi tertulis dan tidak tertulis, kecuali Inggris dan Kanada yang tidak memiliki konstitusi tertulis.
Konstitusi lebih sering diartikan sebagai Undang-Undang Dasar (UUD), yakni sebagai konstirusi tertulis. Dalam penyusunannya, bahan konstitusi atau undang-undang dasar dapat diambil dari nilai-nilai dan norma dasar yang hidup di masyarakat. Selain itu, praktik penye lenggaraan negara juga mem pengaruhi perumusan konstitusi. Oleh karena itu, penyusunan dan perumusan konstitusi atau UUD didasari pokok-pokok pemikiran konseptual dan dikaitkan dengan semangat proklamasi kemerdekaan.
Negara Indonesia telah mengalami perkembangan yang diiringi oleh berlakunya berbagai macam konstitusi. Perkembangan tersebut dibagi dalam beberapa periode, yaitu sebagai berikut.
- Periode UUD 1945 I (Pertama) (18 Agustus 1945–27 Desember 1949)
- Periode Konstitusi RIS (27 Desember 1949–17 Agustus 1950)
- Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950–5 Juli 1959)
- Periode UUD 1945 II (Kedua)
- Orde Lama (5 Juli 1959–11 Maret 1966)
- Orde Baru (11 Maret 1966–21 Mei 1998)
- Reformasi (21 Mei 1998–sekarang)
1. Periode UUD 1945 (Pertama) (18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949)
Jumat, 17 Agustus 1945 merupakan momentum bersejarah bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan karena pada saat itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan. Dengan prokla masi kemerdekaan itulah maka berdiri NKRI. Pada 18 Agustus 1945, PPKI menyelenggarakan sidang yang menghasilkan tiga buah keputusan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintah Indonesia, yaitu sebagai berikut.
- Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945.
- Memilih dan mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden.
- Sebelum terbentuknya alat-alat negara lainnya, tugas presiden dibantu oleh sebuah Komite Nasional Indonesia.
Pada masa ini, lembaga-lembaga lain belum terbentuk, seperti DPR, MPR, MA, dan BPK, yang baru terbentuk adalah lembaga ke pre sidenan. Jadi, kekua saan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dipegang oleh presiden. Hal ini disebabkan suasananya masih dalam masa peperangan.
Undang-Undang Dasar 1945 menganut sistem pemerintahan kabinet presidensil, artinya menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Namun dalam periode ini juga terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan. Hal tersebut terjadi setelah keluarnya Maklumat Pemerintah No. X (eks) pada 14 November 1945, yang menyatakan bahwa menteri-menteri tidak lagi bertanggung jawab kepada presiden, tetapi bertanggung jawab pada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang kemudian menjalankan kekuasaan legislatif. Setelah maklumat tersebut, kekuasaan aksekutif berpindah tangan kepada perdana menteri sebagai akibat dibentuknya sistem pemerintah par-lementer. Dengan demikian, terjadi pergeseran dari sistem pemerin-tahan presidensil ke parlementer.
2. Periode Konstitusi RIS (27 Desember 1949 sampai dengan17 Agustus 1950)
Konstitusi RIS menganut sistem pemerintahan parlementer.
Lembaga perwakilannya menganut sistem dua kamar (bikameral), yaitu sistem lembaga perwakilan rakyat yang terdiri atas dua kamar atau dua badan legislatif yaitu senat dan DPR. Senat merupakan perwakilan dari negara bagian yang setiap negara bagian diwakili dua orang. Adapun DPR merupakan perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia.
Sistem pemerintahan yang dianut oleh konstitusi RIS adalah Sistem Parlementer Kabinet Semu (Quasi Parlementer). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Pengangkatan perdana menteri dilakukan oleh presiden, bukan oleh parlemen sebagaimana lazimnya.
- Kekuasaan perdana menteri masih dikuasai oleh presiden. Hal tersebut tampak dari ketentuan bahwa presiden dan menteri-menteri bersama-sama merupakan pemerintah. Seharusnya presiden hanya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahannya dipegang perdana menteri.
- Pembentukan kabinet dilakukan oleh presiden bukan oleh parlemen.
- Pertanggungjawaban menteri, baik secara perorangan maupun bersama-sama adalah kepada DPR dan melalui keputusan peme rintah.
- Parlemen tidak mempunyai hubungan erat dengan pemerintah sehingga DPR tidak punya pengaruh besar terhadap pemerintah.
- Presiden RIS tidak mempunyai kedudukan rangkap, yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Sistem pemerintahan yang dianut pada masa Konstitusi RIS bukan kabinet parlementer murni. Dalam sistem parlementer, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah. Namun kenyataannya, parlemen terbatas pada hal-hal tertentu saja. Pada masa ini, praktis sistem pemerintahan belum dapat berjalan sebagaimana dikehendaki konstitusi RIS. Akibatnya, pelak sanaan konstitusi RIS tidak berjalan lama. Hal ini disebabkan negara-negara bagian yang lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk menjadi negara. Negara bagian tersebut memilih untuk bergabung dengan negara bagian yang lebih kuat. Selain itu, negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita rakyat Indonesia. Akhirnya, untuk menghindari perpecahan, negara-negara bagian sepakat untuk membentuk UUD baru. Sehingga muncullah UUD Sementara 1950 (UUDS 1950).
3. Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959)
Perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 diatur dalam UU No. 7 Tahun 1950, yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 50-56. UUDS 1950 ini mulai berlaku sejak 17 Agustus 1950.Alat-alat perlengkapan negara menurut UUDS 1950 adalah sebagai berikut.
- Presiden dan Wakil Presiden
- Menteri-menteri
- DPR
- MA
- Dewan Pengawas Keuangan
Ciri-ciri sistem pemerintahan pada masa berlakunya UUDS adalah sebagai berikut.
- Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
- Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan tidak sebagai kepala pemerintahan.
- Kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri.
- Menteri-menteri bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
- Presiden berhak membubarkan DPR.
- DPR dapat membubarkan kabinet.
Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya. Oleh karena itu, dalam pemerintahan sering terjadi pergantian kabinet. Beberapa kabinet yang pernah memerintah pada periode ini, yaitu sebagai berikut.
- Kabinet Mohammad Natsir (6 September 1950–27 April 1951).
- Kabinet Sukiman (27 April 1951–3 April 1952).
- Kabinet Wilopo (3 April 1952–3 Juni 1953).
- Kabinet Ali Sastroamidjoyo (31 Juli 1953–2 Agustus 1955).
- Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955–3 Maret 1956).
- Kabinet Ali Sastroamidjoyo (20 Maret 1956–14 Maret 1957).
- Kabinet Djuanda (9 April 1957–Juli 1959).
Pergantian kabinet tersebut menunjukkan bahwa kestabilan politik pada masa itu belum terwujud. Hal tersebut bukan hanya mem engaruhi dalam bidang politik, melainkan juga memengaruhi ke hidup an sosial, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Pergantian kabinet tersebut akibat UUD yang digunakan masih sementara.
Se men tara itu, Konstituante sebagai badan legislatif belum mampu membentuk UUD yang baru karena terjadi pertentangan politik yang sangat tajam di Konstituante. Kurang lebih 2 tahun, UUD yang baru belum selesai sehingga untuk menghindari perpecahan bangsa, Presiden Soekarno menganjurkan Konstituante menyatakan UUD 1945 sebagai UUD tetap bagi negara Republik Indonesia. Namun karena kesepakatan Konstituante belum tercapai, akhirnya Presiden Soekarno mengeluar kan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya sebagai berikut.
- Bubarkan Konstituante
- Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya UUD 1945
- Pembentukan MPRS dan DPAS
4. Periode UUD 1945 (Kedua) (5 Juli 1959 sampai dengan Sekarang)
Berbagai permasalahan sistem pemerintahan Indonesia memungkinkan untuk kembali pada Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut tercantum pada isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya menyatakan sebagai berikut.
- Pembubaran Konstituante.
- Berlakunya kembali UUD 1945 bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sejak penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
- Pembentukan MPRS yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan golongan serta pembentukan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Alasan untuk kembali pada UUD 1945 karena UUD 1945 dianggap sebagai konstitusi yang dianggap mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, alasan lain pemberlakuan lagi UUD 1945, yaitu menyangkut masalah ideologi. Hal tersebut ditunjukkan dengan pendapat bahwa demokrasi liberal tidak selalu mendorong dalam perbaikan bangsa menuju tujuan dari bangsa Indonesia, yaitu mencapai masyarakat adil makmur.
Pandangan tersebut diperkuat oleh Presiden Soekarno dengan pernyataannya, yaitu bahwa bangsa Indonesia akan mampu membangun hanya dengan persatuan yang kuat, seperti pada masa awal kemerdekaan. Hanya dengan semangat persatuan bangsa Indonesia dapat mencapai tujuannya dalam menyejahterakan rakyat. Periode UUD 1945 (kedua) ini terbagi menjadi tiga masa, yaitu masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Reformasi.
a. Orde Lama (5 Juli 1959–11 Maret 1966)
Pemerintah Orde Lama berlaku setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 resmi disahkan oleh Presiden Soekarno. Pemerintahan Orde Lama dikenal juga dengan periode Demokrasi Terpimpin yaitu ketika semua pimpinan berada di tangan pemimpin besar revolusi, yaitu Soekarno sebagai pimpinan nasional.
Dalam periode demokrasi terpimpin, pemikiran demokrasi Barat banyak ditinggalkan. Presiden Soekarno sebagai pimpinan nasional tertinggi ketika itu menyatakan bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan negara Indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakan tidak efektif. Kemudian, Bung Karno memper kenalkan apa yang disebut dengan “musyawarah untuk mufakat.”
Banyaknya partai oleh Soekarno dianggap sebagai salah satu penyebab tidak adanya pencapaian hasil dalam pengambilan keputusan karena dianggap terlalu banyak debat. Untuk merealisasikan demokrasi terpimpin, kemudian dibentuk badan yang dikenal dengan nama Front Nasional, yaitu organisasi bentukan Bung Karno pada masa demokrasi terpimpin.
Jadi, demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang berdasarkan sistem pemerintahan dengan pimpinan satu kekuasaan sentral di tangan satu orang, yaitu presiden.
Pada puncak kejayaan pemerintahan Orde Lama, dikenal berbagai slogan perjuangan yang membangkitkan semangat, di antaranya Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), Jas Merah (Jangan Sekali-kali Lupakan Sejarah), dan Tavip (Tahun Vivere Veri Coloso).
b. Orde Baru (11 Maret 1966–21 Mei 1998)
Orde Baru lahir dengan agenda untuk melakukan perbaikan/perubahan total terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama terhadap Pancasila dan UUD 1945. Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta melaksanakan pembangu nan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Orde Baru lahir ketika situasi krisis politik dan ekonomi pada awalnya menunjukkan suatu gerakan perubahan yang demokratis. Krisis ekonomi yang terjadi pada masa Orde Lama telah dijadikan isu politik oleh Orde Baru sebagai upaya untuk menimbulkan rasa ketidak percayaan terhadap pemerintahan Orde Lama.
Dengan menggunakan isu ekonomi dan politik pada masa Orde Lama yang mengalami krisis, Orde Baru telah berhasil membawa rakyat ke arah agenda perubahan sebagaimana yang diharapkan. Dukungan rakyat begitu besar ketika pemerintah Orde Baru melakukan perbaikan terhadap langkah-langkah Orde Lama yang dianggap menyim pang dari ketentuan UUD 1945.
Masa pemerintahan Orde Baru memberikan harapan baru, yaitu pada perubahan-perubahan politik dari yang bersifat otoriter ke arah yang lebih demokratis. Namun dalam perjalanannya, Orde Baru ini belum me nunjukkan kehidupan politik yang lebih demokratis. Berikut hal-hal yang dapat menggambarkan masa pemerintahan Orde Baru dilihat dari langkah-langkah pemerintahan nya yang dianggap kurang demokratis.
1) Perubahan Kekuasaan yang Statis
Perubahan kekuasaan bersifat tetap selama masa Orde Baru karena selama 32 tahun dipegang oleh presiden yang sama sehingga rotasi pemerintahan dan kekuasaan tidak terjadi. Perubahan pemerintahan hanya terjadi pada level menteri, gubernur, bupati, dan pimpinan lembaga-lembaga negara lainnya.
2) Perekrutan Politik yang Tertutup
Perekrutan politik, artinya dalam pengisian jabatan-jabatan politik dilakukan secara tertutup dan tidak secara terbuka sehingga lebih membuka adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Misalnya perekrutan dan pengisian jabatan-jabatan politik di daerah hanya melalui penunjukan oleh pemerintah pusat sehingga terbuka peluang untuk melakukan KKN. Berbeda dengan sekarang ketika para kepala daerah dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
3) Pemilihan Umum yang Kurang Demokratis
Penyelenggaraan pemilu pada masa Orde Baru memang secara rutin dilaksa nakan setiap lima tahun sekali. Pelaksanaan pemilu dilaksanakan sampai enam kali tanpa adanya perubahan komposisi politik dalam pemerintahan karena pemenang pemilu dari setiap penyelenggaraannya tidak berubah. Proses pemilu dilaksanakan oleh pemerintah dengan meletakkan kepentingan pada salah satu peserta pemilu. Hal tersebut jauh dari prinsip-prinsip demokrasi sehingga pelaksanaan pemilu dirasakan sebagai demokrasi yang semu.
4) Kurang Jaminan Hak Asasi Manusia
Salah satu indikator dari negara yang menganut demokrasi adalah adanya penegakan hak asasi manusia. Selama pemerintahan Orde Baru kurang ada jaminan dalam pelaksanaan hak asasi manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia yang tidak ditangani dan diselesaikan secara serius dan tuntas. Kebebasan masyarakat pun dibungkam dalam menyuarakan aspirasinya menentang kebijakan pemerintah. Hal tersebut, tentunya bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 28 yang meng atur hak asasi dalam mengemukakan pendapat.
c. Reformasi (21 Mei 1998 sampai dengan Sekarang)
Praktik dari pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun tampaknya secara tidak langsung memberikan pendidikan politik pada masyarakat Indonesia. Para cendekiawan, politisi, akademisi, dan mahasiswa mencermati dan mengkritisi setiap kebijakan Orde Baru yang dirasakan telah menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Akhirnya, mereka melakukan gerakan reformasi menuntut mundurnya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru. Pada 21 Mei 1998, kekuasaan pemerintahan Orde Baru runtuh yang ditandai mundurnya Presiden Soeharto.
Pengganti Soeharto ialah Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie yang meng ucapkan sumpah di Istana Merdeka Jakarta karena tidak me-mung kinkan di gedung rakyat MPR/DPR RI yang diduduki maha-siswa. Berbagai pandangan kontroversial muncul saat pengambilan sumpah tersebut, ada yang mengata kan konstitusional dan ada pula mengatakan sebagai tindakan inkonsti tusio nal. Hal ini karena alasan sebagai berikut.
- Habibie mengambil sumpah tidak disaksikan oleh seluruh anggota MPR/DPR RI. Adapun saat itu Soeharto tidak sedang mendapat halangan, tetapi sudah diminta untuk mengundurkan diri dari kursi presiden.
- Jika dilangsungkan pengambilan sumpah tersebut di Gedung MPR/ DPR RI, akan berisiko tinggi dengan maraknya demonstrasi dan bukankah anggota MPR yang ada di Senayan adalah rekayasa Soeharto sendiri.
- Jika anggota MPR diganti, pemilu tidak memungkinkan untuk dilaksa na kan dalam waktu yang sesingkat mungkin, lagi pula berbagai Undang-Undang Pemilihan Umum selama ini dituding tidak demokratis.
Pada masa pemerintahan Habibie telah terjadi beberapa peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia seperti, pelaksanaan Pemilu yang aman dan demokratis pada tanggal 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 partai. Pada saat itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi pemenang. Akan tetapi, memenangi pemilu bukan jaminan dalam memenangkan kursi presiden karena yang terpilih menjadi presiden pada saat itu ialah K.H. Abdurrahman Wahid yang didu kung oleh koalisi yang menamakan dirinya poros tengah. Kemudian, Megawati Soekarno Putri menjadi wakilnya.
Masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid tidak sampai selesai waktu masa jabatannya. Beliau diberhentikan dalam Sidang Istimewa MPR pada 2001 karena dugaan keterlibatan dalam Kasus Brunei Gate. Kemudian, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat 1 UUD 1945, maka Megawati Soekarno Putri (yang saat itu menjadi Wakil Presiden) ditetapkan menjadi Presiden Republik Indonesia.
Pada masa pemerintahan Megawati yakni tahun 2004, dilaksana kanlah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPD yang diikuti oleh 24 partai politik. Selain itu, untuk kali pertama dalam sejarah ketata negaraan Indonesia dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilihan tersebut dilakukan selama dua putaran karena pada putaran pertama dari lima pasangan calon belum memperoleh jumlah suara lebih dari 50%. Pada putaran kedua tanggal 20 September 2004 terpilihlah dua pasangan, yaitu Megawati-Hamzah Haz dan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Akhirnya, pemilihan dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden yang dicalonkan oleh Partai Demokrat.
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla merupakan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pemilu 2004.
|
0 komentar:
Posting Komentar